Di sebuah sudut kecil Desa Anrang, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, berdirilah sebuah ruang sederhana penuh makna: Perpustakaan Rumah Nalar. Dikenal juga sebagai Taman Bacaan Masyarakat (TBM), tempat ini lahir sejak tahun 2017 dan telah menjadi denyut nadi gerakan literasi desa. Dari tahun ke tahun, Rumah Nalar terus bertumbuh bukan hanya sebagai tempat membaca, tetapi juga sebagai ruang pendidikan nilai dan pembentukan karakter.
Salah satu program unggulannya adalah “Mappangngaji”, yaitu kegiatan belajar membaca Al-Qur’an yang dilakukan setiap pagi dan sore hari. Program ini bukan sekadar mengajarkan huruf hijaiyah atau tajwid, tapi juga membentuk sikap dan kebiasaan baik bagi anak-anak. Di sinilah nilai-nilai seperti disiplin, menghormati guru, membudayakan antre, serta mendidik mental dan kesabaran ditanamkan sejak dini.
Sistem pembelajarannya pun unik. Siapa yang datang lebih awal, akan langsung dibimbing secara privat oleh pengajar. Sementara yang datang belakangan, tidak dibiarkan begitu saja—mereka diarahkan untuk membaca buku yang tersedia di gazebo literasi dan teras baca. Dengan cara ini, tidak ada waktu yang terbuang. Anak-anak belajar memanfaatkan waktu secara produktif, sekaligus menumbuhkan budaya baca sejak usia dini.
Perpustakaan Rumah Nalar memang tidak dilengkapi dengan fasilitas mewah. Rak-rak buku sederhana, meja kayu buatan lokal, dan alas karpet biru menjadi saksi tumbuhnya semangat anak-anak desa dalam belajar dan membaca. Namun di balik kesederhanaan itu, terpendam semangat besar untuk menghadirkan pendidikan yang lebih merata, lebih dekat dengan nilai-nilai lokal, dan lebih membumi.
Melalui inisiatif komunitas dan dukungan dari berbagai pihak, Rumah Nalar menjadi bukti bahwa literasi bukan milik kota semata. Di pelosok desa pun, literasi bisa hidup dan mengakar—terutama jika ia ditanamkan dengan cinta, ketelatenan, dan semangat gotong royong.